Bagi sebagian besar khayalak, baik penggemar sepakbola maupun tidak, pastinya telah sepakat bahwa Lionel Messi adalah pemain terbaik dunia yang sulit dicari tandingannya—kecuali mungkin oleh bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo. Sejujurnya sangat sulit untuk menjabarkan seorang Messi dengan kata-kata. Namun melalui artikel berikut, Bolazola mencoba menelusuri masa kecil dan perjalanan karir megabintang Barcelona tersebut dari beragam persepsi agar kita semua dapat lebih mengenal sang ‘mesias’ lapangan hijau secara lebih mendalam.
Lahir di Rosario, Argentina dari pasangan keturunan imigran Italia, Lionel Andres Messi sudah lengket dengan si kulit bundar sejak balita. Ayahnya, Jorge Messi bekerja sebagai manajer perusahaan besi dan memiliki sebuah klub bola kecil-kecilan. Disanalah Messi dapat menyalurkan bakatnya dan mencengangkan semua orang dengan keahliannya yang tidak biasa, sampai akhirnya ia bisa membela tim besar lokal, Newell Old Boys.
Adalah Charly Rexarch; mantan pemain tim utama Barcelona yang kemudian berprofesi menjadi pemandu bakat klub tersebut yang menemukan bakat Messi. Bahkan, saking ngebetnya dengan sang bocah, Rexarch sampai membuat kontrak darurat di atas sebuah saputangan agar pemain incarannya tidak kabur ke klub lain!
Akhir kata, Messi (serta ayah dan agennya) setuju dengan penawaran Rexarch, yang kala itu menawarkan bayaran 40 ribu pounds per tahun untuk Jorge dan biaya injeksi hormon untuk Messi yang mencapai 1000 dolar per suntikan. Keluarga itu pun pindah ke Spanyol demi kelangsungan karir Lionel Messi di Barca di akhir tahun 2000 silam.
Di La Masia, ‘Si Kutu’ Ditempa..
Messi tiba di Barcelona pada usia 13 tahun dan langsung berlatih di akademi La Masia milik klub Catalan tersebut. Posturnya yang jauh lebih kecil dari rata-rata pemain di rentang umurnya tentu membuat kebingungan para kadet lain. Namun begitu melihatnya beraksi di lapangan, mereka langsung mafhum dan mengenali bakat tak lazim yang dimilikinya. Di sinilah Messi mendapat julukan ‘La Pulga Atomica’ atau ‘Si Kutu Atom’.
Para pelatih akademi pun mengenang Messi sebagai pribadi yang bersahaja dan penurut. Saat bermain, ia diketahui gemar mengamati keadaan sekeliling dan berupaya melepas umpan-umpan yang memanjakan rekan setimnya, kendati sangat mampu untuk terus mendribel bola dan mencetak gol sendirian, Messi membiasakan diri untuk ‘melayani’ sekitarnya sejak dini, dan hal itu tak pelak mengasah visi serta kemampuan umpannya yang terlihat hingga saat ini. Kemudian di luar lapangan, bocah berkaki kidal itu kerap tinggal selepas lebih lama sesi latihan untuk membantu para staf pelatih mengumpulkan perlengkapan, dan kemudian menggunakan kesempatan tersebut untuk berbincang-bincang dengan mereka. Kendati memiliki bakat alami, Messi berlatih dua kali lebih keras dari para rekan sebayanya, di sela-sela suntikan hormon menyakitkan yang juga dilakukannya sendiri.
Asa Itu Terajut Di Barcelona..
Pada masa kedatangan Messi di La Masia, Barcelona tengah dilanda prahara. Klub tersebut telah cukup lama tertinggal dari sang rival, Real Madrid dari perburuan gelar juara Liga Spanyol, dan kritik demi kritik menghampiri presiden saat itu, Joan Gaspart, yang dinilai tidak becus menangani klub sebesar Barcelona, terlebih ketika klub serta merta menunjuk mantan pemain AC Milan, Frank Rijkaard untuk menjadi pelatih. Pasalnya, pria Belanda itu dinilai kurang berpengalaman sebagai juru taktik.
Untungnya, Rijkaard mematahkan semua prediksi dan berhasil membawa Barcelona kembali ke fitrahnya di jalur perburuan juara dengan punggawa-punggawa andalan seperti Ronaldinho dan Deco Sousa. Kemudian di tahun 2004, Rijkaard membuat keputusan terbaik sepanjang karir kepelatihannya dengan memainkan Lionel Messi sebagai pengganti kontra Espanyol. Meski saat itu tak mencetak gol, pemuda Argentina tersebut sukses menunjukkan aksi memukau yang memecah sorak sorai di seluruh stadion. Setahun kemudian, Messi kembali ke tim utama dan mencetak gol perdananya ke gawang Albacete di usia 17 tahun, sepuluh bulan dan tujuh hari; menggebrak rekor pemain termuda yang pernah mencetak gol untuk Barcelona sebelum dipecahkan oleh Bojan Krkic.
Tuah Maradona dan Kutukan Timnas Argentina..
Setelah mencetak gol perdana, garis takdir Lionel Messi semakin jelas. Di musim 2006 / 2007, hattricknya ke gawang Real Madrid untuk membuat kedudukan menjadi 3-3 di partai El Clasico membuka mata dunia tentang keberadaan sang ‘Mesias sepakbola’. Hingga sang ‘dewa’ sendiri, Diego Maradona, turun tangan dan menunjuk Messi sebagai penerusnya. “Saya telah melihat seorang pemain yang akan mewarisi tempat saya di sepakbola (timnas) Argentina, dan namanya adalah Lionel Messi. Ia adalah seorang jenius” demikian ujar Maradona tanpa tedeng aling-aling.
Seakan menyambut ‘predikat’ tersebut, tepat setahun berselang Messi sukses mereplika gol sepanjang masa Maradona. Bermain di laga kontra Getafe, Messi menggiring bola melewati sekurangnya 5 pemain dari dekat garis tengah lapangan dan menaklukkan kiper dengan sontekan jitu, persis seperti yang dilakukan Maradona terhadap Inggris di laga semifinal Piala Dunia 1986. Dunia pun terkesiap serta menyambut kehadiran sang ‘Messias’ di lapangan hijau dengan gegap gempita.
Karir Messi di Barcelona kian terang, terlebih setelah mewarisi nomor punggung 10 yang ditinggalkan Ronaldinho di era Pep Guardiola. Bukan saja berhasil memenuhi ekspektasi, Messi membuat pencapaiannya nyaris mustahil untuk dapat dilampaui para penerus angka keramat tersebut kelak. Sejak musim 2009 / 2010 hingga saat ini, Messi telah mencetak lebih dari 400 gol dan ratusan assist, serta berhasil menghantar Barcelona memperoleh lima gelar La Liga, tiga Copa del Rey, tiga Liga Champion, dan juga gelar Ballon D’Or selama empat tahun berturut-turut. Sesungguhnya, kemampuan utama Messi bukanlah bakat alaminya sebagai seorang dribbler / penggocek (atau ‘keunggulan’ gaya gravitasi karena postur tubuhnya yang pendek), melainkan keinginan yang kuat untuk terus belajar. Setiap minggu, bulan, bahkan tahun, Messi selalu menunjukkan perkembangan yang luar biasa serta selalu mampu memainkan peran sebagai poros utama Barcelona dengan amat baik.
Namun sayangnya, di tim nasional Argentina, Messi masih belum mampu mematahkan ‘kutukan’ dan menyusul jejak Maradona untuk mempersembahkan gelar. Sejauh ini, ia telah berhasil membawa tim Tango ke partai final kompetisi di tiga kesempatan sebagai kapten tim, namun selalu kandas secara menyakitkan. Messi sampai sempat memutuskan untuk pensiun dari kancah internasional setelah kegagalan di partai puncak Copa America tahun 2016 silam, namun untunglah hal itu urung dilakukan sehingga ia masih memiliki kesempatan untuk menutup karirnya bersama tim nasional Argentina.
‘CR7’ Sang Katalis..
Di antara para pebola era modern, hanya satu sosok yang dapat diperbandingkan dengan Lionel Messi, yakni Cristiano Ronaldo. Hal ini bukanlah hanya gimmick media semata, namun secara statistic, pemain asal Portugal itu nyaris menyamai pencapaian Messi di semua aspek. Dari segi perolehan gelar Ballon D’Or misalnya; Ronaldo hanya berjarak 1 gelar lebih sedikit dari Messi yang mengoleksi 5 piala bola emas tersebut. Kemudian untuk Sepatu Emas Eropa, Ronaldo malah dinobatkan 1 kali lebih banyak ketimbang Messi. Dari segi pendapatan, imej diri (self-image) keduanya telah menjadi komoditas ikonik yang bahkan dapat meraup pasar non-sepakbola sekalipun.
Media juga berperan besar dalam mengipasi rivalitas Messi-Ronaldo hingga menjadi sorotan utama di ranah sepakbola modern, seperti halnya Muhammad Ali-Joe Frazier di dunia tinju professional atau Aryton Senna-Alain Prost di balap Formula 1. Pengamat pun masih asyik membandingkan gaya bermain keduanya yang sama sekali berbeda. Ronaldo memiliki postur sempurna dan kemampuan kedua kaki sama baiknya, sementara Messi bertubuh pendek dan memiliki kemampuan dribel kaki kiri yang tiada tanding, Namun jika bisa dibilang, persamaan keduanya adalah semangat pantang menyerah untuk terus meningkatkan potensi diri hingga melebihi batas langit sekalipun.
Mempersunting Sahabat Masa Kecil..
Selain aksinya di lapangan, kisah cinta Messi dengan wanita yang baru saja dinikahinya, Antonella Rocuzzo juga menjadi sisi menarik untuk dibahas. Messi sudah mengenal sang gadis sejak usia 5 tahun melalui Luca Scaglia; rekan setim sekaligus sahabat Messi di Newell Old Boys yang juga sepupu Antonella.
Awalnya, Scaglia mengajak Antonella untuk bergabung bersamanya dan Messi berjalan-jalan di tepi sungai Porona. Messi saat itu langsung kepincut dengan kecantikan putri pemilik jaringan supermarket terbesar di kota Rosario tersebut. Kedua sejoli itu tumbuh bersama di Santa Fe hingga akhirnya harus berpisah kala Messi hijrah ke Spanyol demi mengejar impiannya sebagai pebola sukses.
Namun jarak dan ruang waktu yang membentang terbukti tak dapat memisahkan jalinan kasih mereka. Meskipun Antonella sempat menjalin hubungan dengan pria lain, kematian seorang kerabat membuat keduanya berjumpa kembali di tempat yang sama. Saat itu jugalah Antonella menyadari bahwa Messi memang ditakdirkan untuk bersama dirinya, meski kini ia telah menjadi salah satu manusia paling tenar di dunia.
Messi dan Antonella resmi menikah di awal tahun ini setelah berpacaran sekian lama dan dikaruniai dua orang putra, Thiago dan Matteo. Kendati bisa dibilang telah memiliki segalanya, nyata bahwa Messi masih menyisakan satu tempat di hatinya untuk Antonella, dan dengan sabar dan yakin, ia menunggu waktu yang tepat untuk mengikat janji dengan wanita tersebut sehidup semati.
Setelah Era Sang ‘Messias’, Selanjutnya apa (untuk kita semua)?
Di bulan Juni silam, Messi telah genap berusia 30 tahun. Jika ada satu hal yang tak akan pernah mampu dilawannya, itu adalah usia. Tanpa disadarinya, ia melangkah ke senjakala usia produktif atlit sepakbola, dan kita pun harus menerima kenyataan bahwa Messi tak akan lama lagi menghiasi layar kaca dengan aksi-aksi ciamiknya di lapangan hijau, mengoper, mendrible, menyundul, maupun menendang bola. Masa-masa itu akan segera berlalu.
Hampir terasa menyakitkan melihat dokumentasi tentang awal karir Messi diputar, saat segalanya bermula. Ia bermain dengan berbeda kala itu, terfokus penuh, nyaris tak berkedip, seperti selayaknya seorang belia yang sarat gairah. Kulitnya belum terjamah oleh rajah, rambutnya pun masih panjang dan bergaya belah tengah. Sekarang, kita semua tahu kejayaan apa yang menantinya, namun saat itu, ketika ia berlari dari bangku cadangan ke lapangan di delapan menit terakhir laga kontra Espanyol; delapan menit pertamanya di sepakbola profesional, Messi sepenuhnya adalah masa depan.
Saat ini, ia lebih banyak merupakan masa lalu dan kenangan. Setiap kali kita melihatnya, kita semakin dekat terhadap kesempatan terakhir untuk itu. Kemudian satu pertanyaan pun mungkin akan muncul : setelah era Messi (dan Ronaldo), selanjutnya apa bagi dunia sepakbola modern? Akankah lagi kita temukan rivalitas seagung keduanya? Yang saling membuktikan dengan prestasi di lapangan, bukannya drama minta-transfer dan banderol ratusan juta yang menyilaukan mata?
Tidak ada jawaban mutlak terhadap hal tersebut. Lionel Messi jelas bukanlah obat, namun kadangkala, ia terasa demikian. Melihat Messi dengan bola di kakinya memberi pengakuan pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita lakukan sebagai manusia. Ah, mungkin kita tidaklah seburuk yang kita kira, karena Messi adalah bagian dari kita. Jika seorang yang membutuhkan bantuan injeksi hormon sepertinya bisa mendobrak batas dan menaklukkan dunia, lalu apa alasan kita yang terlahir tanpa cacat cela? Keberadaannya pun tanpa sadar, telah membuat kita terlihat lebih baik dari semestinya.