Jumat, 12 Januari 2018

KISAH SEJARAH GUNUNG IJEN

kawah ijen adalah Kawah terbesar di dunia,warna dari kawah ini pun sangat cantik yaitu kehijauan biru,dan di sana terlihat banyak orang yang bertambang belerang,dan kemudian belerang itu di jual ke penampungan.dan banyak nya pohon pinus dan kebun kopi yang terdapat di sana menjadi objek yang menarik.


Banyuwangi hanyalah satu dari seribu legenda dari Pegunungan Ijen di ujung timur Pulau Jawa ini. Ada lagi legenda Banyupahit, Kawah Wurung, atau kisah menak seperti Dhamarwulan. Tanah bergunung-gunung yang nyaris tak tersentuh, terisolasi, dan bernuansa gelap ini banyak melahirlah aneka dongeng dan kisah magis. Termasuk budaya santet yang ditakuti itu.

Tanah Para Pemberontak

Dulu, Pegunungan Ijen adalah bagian dari Negeri Blambangan. Nama Blambangan mencuat dalam sejarah tatkala rajanya, Menak  Jinggo menolak mengakui kekuasaan Majapahit. Perang antara Blambangan dan Majapahit lalu melahirkan kisah Menak pada abad ke-14. Kisah yang menceritakan perjuangan Dhamarwulan, pemuda dari rakyat biasa yang menjadi tukang arit tapi mampu membunuh musuh kerajaan, Menak Jinggo. Dia lalu menikahi Ratu Majapahit, Dewi Kencono Wungu, dan menjadi raja.

Nama Ijen juga disebut-sebut tatkala seorang pangeran dari Kerajaan Wilis, bergerilya melawan VOC dari balik lereng pegunungan Ijen pada tahun 1722.  Meski akhirnya kalah, kisah  ini membuktikan Ijen sebagai tempat persembunyian yang ideal bagi para pemberontak. Tanahnya yang bergunung-gunung dan dipenuhi hutan lebat, sungguh menakutkan bagi orang luar. Kesan angker begitu melekat di wilayah tak bertuan ini.

Alam Ijen mulai tersentuh tatkala kompeni Belanda menyewakan tanah yang amat luas di daerah Besuki, Panarukan, Probolinggo dan sekitarnya kepada saudagar dan kapten penduduk Cina di Surabaya yang kaya raya, Han Chan Pit dan saudaranya, Han Ki Ko. Untuk menarik minat pekerja, mereka membagi-bagikan beras gratis saat ada kelaparan. Dalam waktu singkat, datanglah 40 ribu pekerja asal Madura. Mereka membuka lahan, bertanam padi dan sayuran, menggunakan sistem irigasi yang teratur. Namun meletusnya pemberontakan para petani yang dipimpin Kiai Mas pada 1813 membuat tanah sewaan ini dibeli kembali oleh Rafles.

Pelaksanaan politik culturstelse oleh Belanda di akhir abad ke-19 memaksa pembukaan kembali lahan-lahan terpencil ini, termasuk Pegunungan Ijen untuk dijadikan perkebunan kopi dan karet. Lagi-lagi didatangkan ribuan pekerja asal Madura. Maka  terciptalah ‘Madura kecil’ yang menjadi pusat pemukiman orang Madura beserta adat, budaya, dan bahasanya. Madura kecil kini masih bisa kita jumpai di sebagian Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar